Lagi-lagi saya membicarakan game, sekali lagi ini karena pembahasan di Buku The Anxious Generation yang salah satunya seputar game. Tulisan ini boleh disebut pengantar ketiga untuk masuk ke pembahasan buku tersebut. Kali ini tentang pengalaman saya sendiri bermain game. Entah akan disebut kecanduan atau tidak, tapi semoga cerita ini akan membawa hikmah dan tidak dalam rangka mengumbar aib.
Nintendo SNES

Pertama saya bermain video games mungkin adalah Nintendo. Tentu bukan jenis Nintendo hari ini seperti Wii atau DS. Ia adalah Nintendo SNES seperti ini. Saya sendiri tidak punya, kebetulan yang punya adalah sepupu saya di Ponorogo. Usia saya waktu itu sekitar kelas 1 atau kelas 2 SD. Kami bermain hanya ketika sedang berkumpul keluarga besar saat idul fitri. Game-nya banyak karena bisa gonta-ganti kaset. Salah satu yang legendaris yaitu permainan Duck Hunt. Permainan yang menggunakan pistol diarahkan ke TV alih-alih menggunakan controller biasa.
Sebagaimana anak-anak pada umumnya, saya juga ketagihan pada waktu itu. Bahkan berharap tidak harus mengikuti acara keliling ke rumah saudara lain. Cukup di rumah tersebut ketika masa liburan dan bermain Nintendo seharian. Tapi karena waktu itu masih anak-anak, jadi tak bisa banyak menolak.
Game PC awal tahun 2000-an
Tahun berikutnya, kakak sepupu saya di Madiun punya PC di dalam kamarnya. Saya ingat dibolehkan main sepuasnya saat malam idul fitri. Waktu itu ada dua permainan yang saya nagih memainkannya. Pertama The Sims House Party, termasuk generasi awal The Sims. Adapun yang kedua, game legendari PC yaitu Empire Earth. Seingat saya karena kedua game ini, saya sampai tidur jam 2 malam.
Kedua game tersebut adalah game bergenre simulasi dan strategi. Alurnya lambat tapi cukup bikin ketagihan. Serta bukan bermodel pertandingan, sehingga tidak ada waktu berhentinya. Empire Earth dalam satu kali pertandingan bisa satu sampai dua jam. Belum lagi The Sims, selama ngga capek, ngga akan berhenti.


Mengenal Warnet
Saya ingat kelas 5 SD di Surabaya, saya diajak main ke warnet. Kala itu mulai bermunculan Warnet atau Warung Internet. Harganya lumayan murah yaitu Rp. 3.000/jam. Karena uang jajan terbatas, kami terkadang iuran. Dibilik, kami bermain game yang menjadi penanda lahirnya multiplayer FPS berbasis internet, Counter Strike 1.6. Itu bukan pertama kali saya bermain FPS, saya ingat dulu sempat asyik bermain Virtua Cop di rumah tetangga.

Counter Strike 1.6 menurut saya adalah awal mula saya ketagihan game. Menurut saya hari ini, ketagihan datamg bukan karena kemauan diri tapi karena keleluasaan. Kalau game lain yang saya sebutkan gawainya terbatas. Saya tak bisa sewaktu-waktu bermain. Tapi warnet dan CS, tidak, selama punya uang jajan selama itu pula bisa main. Apalagi, warnet tempat saya ngga harus main 1 jam penuh. Bahkan sekedar main setengah jam, ya bayar 1500. Saya bermain mungkin dua sampai tiga kali sepekan. Sepeda-an ke warnet sepulang sekolah dan main disana barang satu atau dua jam.
Walapun rental PS2 sudah ada dimana-mana, bahkan banyak teman saya mangkal disana. Saya tetap memilih warnet. Bahkan saya menambah permainan baru yang juga viral kala itu. Game MMORPG asal Korea Selatan bernama Rising Force Online. RF Online kala itu cukup menarik perhatian saya, mode building character, hunting, sampai war antar ras (Bellato, Accretia, dan Cora). Namun semakin lama, banyak cheater di game ini. Alih-alih building character, banyak yang langsung edit permainan. Akhirnya, saya lepas dari RFO.

Pindah ke PS2
Sebelum saya lanjutkan, perlu diketahui bahwa saya main game sekitar 1-2 jam ketika sore hari. Malam tetap belajar. Mengingat uang terbatas. Pun kala itu, saya sedang kelas 6 SD yang menghadapi persiapan UNASDA di tahun 2007. Saya tetap ranking satu di SD, peraih nilai tertinggi UNASDA di SDN Manukan Kulon III tahun 2007.
SMP saya berpindah dari warnet ke rental PS2. Kala itu beberapa teman asyik-asyiknya bermain Winning Eleven 10. Pun harganya lebih murah, Rp. 2000/jam. Disini juga saya jadi kenal para pemain bola dan punya klub favorit, Chelsea FC. Awal mula bermain PS2 ya game ini. Lalu saya mencoba merambah ke game lain pas main sendirian. Dan banyak yang saya coba :
Mulai dari Resident Evil 4 (tamat), Mortal Kombat Shiaolin Monk (tamat), God of War II (tamat), Monster Hunter, Harvest Moon : Back to Nature, BLACK, GTA 4 San Andreas, Bully, dan lain-lain.
Saking sukanya nge-game, saya sampai punya Memory Card ukuran cukup besar yaitu 64 MB. Game-game tadi saya nikmati biasa saja. Tidak berlebihan tapi juga tetap punya rasa ingin main terus.Kecuali satu game ini, Dynasty Warriors 5 : Xtreme Legends. Menurut saya game inilah yang bikin kecanduan. Saat teman-teman saya yang lain nagih game seperti WE, GTA, atau genre petualangan seperti GoW dan RE. Tapi Dynasty Warriors punya semacam kesan sendiri di kepala saya waktu itu. Ketika sedang di luar rumah bahkan kepala saya kepikiran oleh game ini. Bagi yang belum tahu, Dynasty Warriors adalah game dengan genre Musou atau hack-and-slash. Dan setelah saya baca lebih lanjut hari ini, memang cukup jelas secara ilmiah, mengapa genre game Musou lebih nagih daripada genre permainan lain. Kapan-kapan saya tulis.

Game HP sebelum Mondok
Saya SMP kelas 1-2 di Surabaya lalu kelas 3 pindah ke Trenggalek. . Di Trenggalek tak banyak Rental PS2 seperti di Surabaya. Pun kalau ada, jaraknya lumayan jauh. Maka setelah pindah ke Trenggalek, berakhirlah masa nge-game rental saya. Adapun saya mulai pegang HP sendiri SMP kelas 2 dengan HP Nokia 2626. Tak banyak memorinya, jadi main game terbatas. Pun karena terbiasa dengan layar lebar dan DPI tinggi seperti PS2 dan Warnet, game HP belum terlalu menarik buat saya. Download-sih beberapa game. Salah satunya juga cukup ketagihan yaitu Ancient Empires II. Tapi itu tidak lama, karena saya juga menyiapkan diri untuk UN. Selesai SMP, saya pindah dari perjalanan Sekolah Negeri ke Pondok. Mondok tentu saja tidak boleh membawa HP dsb. Karenanya saya tidak lagi main game selama di Pondok dan sampai lulus.

Ada Beda, Kecanduan Game Hari ini dan Dulu
Soal kecanduan game saya tidak bisa berkata karena saya berjuang dan lain sebagainya. Karena cukup sederhana, saya mondok, dan mungkin selesai karena itu. Tapi baik itu disebut kecanduan atau ketagihan, menurut saya ada sedikit perbedaan dengan hari ini.
Pertama, kala itu game multiplayer online tak perlu akun seperti sekarang. CS 1.6 misal, anda tidak harus punya akun karena kala itu terkenalnya CS 1.6 (No Steam). Sehingga tak ada konsekuensi untuk berhenti di tengah permainan. Bahkan kita bisa atur sendiri mau main sampai kapan dan kondisi seperti apa hingga salah satu antara terroris atau counter-terrorist menang. Kalau toh di tengah permainan left, tak ada konsekuensi, dan pemain lain tetap have fun. Game Rising Force juga demikian. Kita tidak harus mendedikasikan waktu tertentu untuk berada di sebuah pertandingan. Kita cukup login, grinding character, interaksi, sama player lain, sudah.
Hari ini, game seperti Valorant, DOTA II, Mobile Legend, Free Fire, membutuhkan dedikasi waktu. Player dipaksa untuk stay–in-game barang 30 sampai 45 menit, bahkan 1 jam. Permainan tidak akan menyenangkan bagi pemain lain, kalau salah satu diantara player meninggalkan layar atau AFK (Away From Keyboard). Apalagi mereka yang sedang bermain mode rank. Bisa mencak-mencak dan marah-marah.
Kedua, game hari ini adalah platform sosial baru. Kalau dulu, kecanduan tapi bersifat addiction to personal fun & progression. Candu tapi untuk kesenangan diri sendiri. Tak ingin membuktikan apa-apa ke orang lain. Kalau toh ada, ya hanya teman-teman sekitar aja yang melihat sejauh mana perjalanan kita di game tertentu. Tanpa medsos, tanpa akun, game hanyalah game.
Hari ini game bukan untuk personal, gaming is a new form of social media. Game adalah tentang pembuktian status, tinggi-tinggian rank, besar-besaran winrate, dsb. Menurut saya inilah yang membuat game hari ini tak lagi fun. Sehingga banyak anak impulsif, marah-marah, bahkan berucap kotor karena game. Saya yang juga nge-game saja merasa ada shifting dalam dunia game. Something wrong.
Game Saya Hari Ini
Disela-sela mengajar sebagai fasilitator atau momong keluarga atau baca buku dan segala aktivitas lain yang lebih produktif, saya masih nge-game. Ya. Tetap saya masih bermain dengan aturan yang saya buat sendiri. Aturannya : game sendirian, bisa berhenti sewaktu-waktu, menyenangkan, dan tak terpacu soal rank dan lain sebagainya. Selain itu harus ori alias beli. Tak lagi bermain game bajakan.

Saya memang sempat bermain game online awal menikah seperti Valorant dan CS2, tapi sudah berhenti. Valorant memang sedang falldown untuk pemain kasual seperti saya, adapun CS2 terlalu progresif. Saya juga sempat bermain Genshin Impact, tapi karena stuck dan alurnya yang lambat jadi saya tinggalkan. Hari ini saya tak lagi bermain game online multiplayer seperti di atas.
Saya akhirnya memilih bermain game-game seperti Far Cry 4, Far Cry 5, Just Cause 3, SM Civilization VI, atau Cities Skyline. Kriterianya sebagaimana disebutkan di awal : bisa berhenti sewaktu-waktu, sendirian, tak peduli soal rank, serta menyenangkan.
Maka ketika hari ini mencoba memahami siswa-siswa atau adik-adik yang kecanduan game serta menangani dampaknya. Saya merasa antara relate dan tak relate. Satu sisi yang tahu betapa asyiknya main game, satu sisi dunia game hari ini terasa berbeda. Bahkan untuk game yang dimainkan anak-anak hari ini seperti ML, FF, Roblox, dsb, saya tidak main.
Nanti saya akan tulis lebih lanjut tentang game pada anak laki dalam bahasan buku The Anxious Generation. Tulisan ini hanya sebagai pengantar saja dengan salah satu topik utama bahwa game hari ini dan game zaman dulu sedikit berbeda. Bahwa game telah mengalami shifting dan anak (khususnya laki-laki) jadi impulsif, masalah kontrol emosi, berucap kotor, dan bahkan tak sedikit yang melakukan kekerasan.
Leave a Reply