Lan Narhal

Oleh

|

|

Waktu Baca: 6 menit

2 Tahun Tufan al-Aqsha

Saya masih ingat ketika awal-awal bulan Oktober 2023. Kebanyakan masyarakat Indonesia masih begitu aware dengan apa yang terjadi di Palestina. Ketika para mujahidin HAMAS memulai Tufan al-Aqsha. Informasi seputar Palestina dan kondisi perang tersebut kita dapatkan dengan informatif, oleh juru bicara HAMAS, Abu Ubaidah. Kala itu hingga bulan-bulan berikutnya, saya masih memenuhi telegram dengan informasi-informasi langsung dari Palestina. Hampir tiap malam, mengingat perbedaan waktu yang sekitar 5 jam. Kita berdoa agar malam disana tetap aman, mengingat serangan Isra*l seringkali dilakukan di malam hari.

Paginya, buru-buru membuka HP. Beberapa portal berita di telegram masih sunyi belum ada informasi. Namun beberapa yang lain masih informatif. Kemudian beberapa jam setelahnya, ketika mentari mulai menyinari tanah Syam, informasi mulai masuk. Penduduk Palestina dan sebagian jurnalis Palestina mulai mengupdate informasi yang terjadi semalam. Termasuk dari pihak Kementerian Kesehatan Palestina, HAMAS, ataupun pasukan perlawanan yang lain.

Sebagian besar rakyat Indonesia memahami betul apa yang terjadi di Palestina. Is*ael dengan propagandanya ingin mengingat bahwa sejarah penjajahan atas Palestina dimulai di tanggal 7 Oktober tersebut. Padahal, ia adalah sejarah panjang perlawanan. Tufan al-Aqsha hanyalah satu momentum perlawanan, namun momentum tersebutlah yang terhebat, tercanggih, dan terbesar sepanjang sejarah perlawanan.

Sesuai namanya, Tufan al-Aqsha adalah upaya pembebasan Palestina dari segala bentuk penindasan oleh Israel. Saat Shalat di Masjidil Aqsha dijaga ketat, diusir, bahkan dilempari granat dan gas air mata. Kala penduduk Tepi Barat atau West Bank diintimidasi dan diusir seenaknya bak mengusir anjing. Saat tawanan demi tawanan tak kembali bahkan diperlakukan dengan keji dan brutal oleh mereka. Maka saat itu pula harus ada perlawanan kembali. Tufan al-Aqsha bukanlah awal, ia adalah perjalanan panjang perlawanan.

Is*ael dan Zionisme

Jika menyimak sejarah panjang tanah Syam sejak kekhilafahan Turki Utsmani, saat itulah bibit Zionisme muncul. Theodore Herzl, pencetus Zionisme, saat itu masih mengemis-ngemis tanah kepada Sultan Abdul Hamid II untuk kaum Yahudi. Ia menawarkan berbagai macam salah satunya adalah bantuan keuangan. Untungnya, Sultan Abdul Hamid II tetap teguh, bahwa Yahudi diperbolehkan tinggal sebagai individu di tanah khilafah, tapi tak boleh berpolitik atau berkelompok sehingga menjadi suatu bangsa tersendiri. Bahkan Sultan Abdul Hamid II menawarkan daerah lain kepada Herzl dan kaumnya. Namun mereka (Zionis) tetap teguh menuju ke tanah Syam. Asalkan sebagai individu, mereka akhirnya diperbolehkan. Masyarakat Palestina pun kala itu juga tak masalah. Apa sih salahnya hidup berdampingan dengan umat beragama lain?

Sayangnya ada dua hal : Pertama, bahwa kekhilafahan Turki Utsmani mendapatkan tekanan dari internal. Pusat khilafah yang semakin lama semakin menjauh dari jazirah Arab berhasil membentuk sentimen dari bangsa Arab juga bangsa Turki sendiri. Sentimen kebangsaaan inilah yang kemudian sangat mudah sekali diadudomba. Pemberontakan demi pemberontakan dilayangkan kepada wakil-wakil kekhalifahan di berbagai daerah. Revolusi Balkan, Revolusi Turki Muda, Pemberontakan Armenia, serta upaya penguasaan kembali jazirah Arab oleh Dinasti Ibn Saud (walaupun dimulai di akhir masa Sultan Abdul Hamid II).

Adapun kedua, bahwa Yahudi yang tinggal di Palestina tak tinggal diam begitu saja. Sebagian dari mereka memang berhubungan baik dengan masyarakat Palestina. Mereka menaati aturan dari Khilafah Turki Utsmani, mereka memiliki paspor dan kewarganegaraan, mereka bertetangga, serta bermasyarakat. Tapi, sebagian lain dari mereka bersekongkol dan berkongsi. Mereka menginginkan untuk menguasai tanah dari sungai efrat hingga sungai nil. Zion, The Promise Land, kata mereka. Mereka mulai membeli tanah-tanah di dalam Palestina. Mereka menagih janji Tuhan mereka. Aliyot demi Aliyot, bergelombang-gelombang Yahudi berdatangan. Mereka menyebutnya sebagai aliyot, kenaikan, dimana tinggal di tanah perjanjian adalah kemuliaan bagi seorang Yahudi.

Buku Herzl berjudul Der Judenstaat (Negara Yahudi) berhasil membujuk Yahudi dari berbagai negara. Sebuah pesan besar bagi dunia bahwa negara Zionis telah diproklamirkan. Entitas berupa penjajah dan penindas baru telah lahir. Negara yang kelak menjadi negara terkeji di dunia bernama Isr*el.

Perlawanan Palestina

Kelahiran negara zionis bukan tanpa perlawanan. Baik dari internal Yahudi sendiri atau bahkan dari kalangan bangsa Arab dan umat Islam. Izzudin al-Qassam – yang nanti menjadi nama brigade militer dibawah pimpinan HAMAS – telah memimpin perlawanan rakyat Palestina sejak 1930 hingga 1935, yang kemudian dilanjutkan oleh Syaikh Amin al-Hussaini.

Sejak saat itu hingga 1947, kehadiran Zionis di tanah Palestina ditambah campur tangan Inggris dan negara-negara pro Zionis lain telah memicu perang besar di tanah tersebut. PBB yang sudah dari dulu memang tidak guna, malah melahirkan PBB Partition Plan di September 1947. Isinya adalah pengesahan wilayah Palestina yang terbagi menjadi dua 55% untuk Yahudi Zionis, sisanya untuk rakyat Palestina. 14 Mei 1948, negara palsu Isr*el memproklamirkan diri.

Partition Plan dan proklamasi tersebut yang kemudian memicu Nakbah (Malapetaka) 1948. Sebanyak 80% atau sekitar 700 ribu masyarakat Palestina terusir dari kampung halamannya. Desa-desa mereka dirampas, bangunan dan harta mereka diklaim, serta mereka dilarang kembali. Inilah Genosida, etnhic cleansing, sebagaimana yang dilakukan saudaranya Amerika Serikat kepada suku Indian 100 tahun sebelumnya dalam tragediTrail of Treats.

Pengusiran ini yang juga mendorong perlawanan terus berlanjut. Meletuslah Perang Arab-Israel 15 Mei 1948 – 10 Juni 1948. Sebanyak 700 orang Lebanon, 4500 pasukan Transjordania, 1800 orang Suriah, 4000 orang Irak dan 2800 orang Mesir menyerbu Israel. Inilah yang membuat 11 hari setelah penyerbuan tersebut, Is***l mendirikan IDF. Sayangnya perang tersebut karena beberapa faktor termasuk perpecahan serta sokongan Inggris terhadap I**ael, membuat Palestina tetap berada di wilayah penjajah.

Sejarah panjang perlawanan juga terus belanjut bersama Fatah yang dipimpin oleh Yasser Arafat serta Hamas yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Yassin dari Gaza. Perlawanan dari Harokatul Muqowamah al-Islamiyyah atau HAMAS inilah yang kemudian menjadi perlawanan paling sengit kepada Israel bernama Intifada. Tufan al-Aqsha, sejatinya adalah Intifada ketiga.

Kami Tak Akan Pergi

Saya ingin mengenalkan satu nama, alah seorang mantan walikota Israel yang kini menjadi pemimpin untuk para pemukim (settler) bernama Daniella Weiss. Ia mengajak, membujuk, mempromosikan Yahudi dari berbagai negara untuk membangun dan tinggal di Israel. Ia ingin tanah Palestina dipenuhi oleh orang-orang Isr*l. Dalam berbagai video dan wawancara, ia dengan percaya diri menyampaikan bahwa mereka dalam kebenaran dan sangat tidak peduli kepada penduduk Palestina baik di West Bank ataupun Gaza. Ketika dikonfrontir soal ethnic cleansing ataupun kejahatan kemanusiaan lain, ia tak peduli. Benar-benar kejahiliyahan di depan mata.

Saya sempat terpikir, bagaimana sih tingkat pendidikan di Isra*l, bisa-bisanya mereka buta dan tuli dengan berbagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan. Bahkan aksi Global Sumud Flotilla yang dipimpin oleh Thiago Avila bersama ratusan aktivis termasuk Greta Thunberg dari 44 negara ditangkap secara ilegal. Ben Gvir, Menteri Keamanan Is**l mengatakan bahwa mereka semua teroris bersama bentuk kekerasan serat pelecehan.

Berdebat dengan orang pintar dan masuk akal mungkin masih ada harapan. Tapi berperang melawan orang bodoh dan jahil sulitnya bukan main. Saya masih ingat pasca 7 Oktober 2023, kala serangan al-Qassam dibalas dengan penghancuran besar-besaran di area-area sipil di Gaza. Kala itu juru bicara al-Qassam sudah begitu geregetan hingga mengatakan, “Demi Allah, jika mereka berani meluncurkan rudal-rudal kepada penduduk sipil di Gaza, kami akan bunuh tawanan-tawanan mereka. Mereka sama sekali tidak paham bahasa manusia, mereka hanya paham bahasa kekerasan”. Tampaknya, Isr**l memang tidak peduli dengan warga mereka dan tidak peduli dengan ancaman. Rudal-rudal terus diluncurkan ke area sipil. Tapi Hamas tetap punya hati, tawanan pada akhirnya diperlakukan dengan baik.

Maka cukup mengherankan jika solusi yang ditawarkan adalah menerima dengan tangan terbuka orang-orang dari Palestina di wilayah-wilayah lain. Solusi ini berangkat dari pola pikir, “daripada hidup menderita di bawah penjajahan Isr**l mending hidup nyaman di negara lain“. Justru pikiran itulah yang berusaha di bangun oleh Zionis. Zionis memang bercita-cita mengusir bangsa Arab dari tanah Syam. Jika solusi itu yang ditawarkan, maka sama saja mendukung cita-cita Zionisme.

Lan Narhal – “Kami tidak akan pergi.” ucap seorang anak perempuan ketika ditanya oleh seorang jurnalis apakah mau pindah ke tempat yang lebih aman dan layak. Mengingatkan betapa bodohnya kita masyarakat dunia dibanding anak kecil ini. Jika terjadi penindasan terhadap sebuah bangsa oleh bangsa lain, maka diungsikan, tapi penindasnyalah yang harus dihilangkan. Palestina adalah milik mereka, Syam adalah tanah air mereka. Maka mari perjuangkan untuk mengangkat kaki penjajah darisana daripada harus sibuk mengungsikan pemilik sah dari tanah Palestina.

Bagikan post ini :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kolom Pencarian

Post Terbaru

Arsip Blog

Berlangganan via E-Mail