Dua fenomena hari ini perlu menjadi refleksi besar bagi bangsa Indonesia, khususnya dalam hal pendidikan.
Fenomena pertama, saat seorang murid ditampar oleh Kepala Sekolah di Banten karena ketahuan merokok. Sebanyak 630 siswa kompak tidak masuk sekolah ‘membela’ temannya yang merokok bahkan orang tua melayangkan gugatan kepada Kepala Sekolah. Buntutnya, Kepala Sekolah tersebut akhirnya diberhentikan. KPAI pun turut berkomentar menyayangkan perbuatan Kepala Sekolah. Walaupun siswa yang merokok juga tetap dihukum, namun gelombang protes datang dari netizen.
Fenomena kedua, pondok pesantren menjadi sorotan stasiun TV Nasional buntut kasus runtuhnya gedung ponpes di Sidoarjo. Keruntuhan ini sendiri akibat gagal struktur yang parah dan ketidakpahaman tentang pentingnya ‘keselamatan’. Kejadian tersebut jadi kesempatan suatu program TV untuk mengangkat rating sekalian menguliti pondok pesantren. Menghubungkan-hubungkan pesantren dengan feodalisme serta menggeneralisir bahwa semua pondok pesantren demikian.
Pendidikan Transaksional
Dua fenomena di atas adalah buah dari kegagalan masyarakat dalam memaknai peran pendidikan. Pendidikan telah direduksi menjadi sekadar jasa layanan transaksional. Orang tua membayar SPP, negara membayar gaji guru, dan sebagai gantinya, mereka menuntut “produk” yang sesuai keinginan. Alih-alih semua pihak kompak bekerja sama untuk mendidik generasi masa depan, nuansa yang kental adalah saling menuntut dan menyalahkan. Sayangnya dalam pola hubungan transaksional ini, sekolah dan pendidik ditempatkan sebagai “pemberi jasa”. Mau tak mau ia seolah harus tunduk pada kepuasan “konsumen” (orang tua dan siswa). Sehingga setiap tindakan pendisiplinan yang tidak disukai dengan mudahnya dilabeli sebagai “kekerasan”, dan sang pendidik pun dapat “dihukum”.
Dampak dari pola transaksional di dunia pendidikan ini, semua lembaga pendidikan jadi dianggap sama, salah satunya pesantren. Padahal sejak lama, pesantren punya kultur yang berbeda dan menjadi ladang penanaman akhlak serta karakter. Saya pernah menulis panjang seputar pesantren di medium. Banyak yang menganggap bahwa pesantren seharusnya sibuk belajar dan menuntut ilmu, bukan bekerja apalagi ikut membangun infrastruktur pondok. Padahal di dalam pesantren, apa yang kau lihat, apa yang kau dengar, dan apa yang kau rasakan adalah pendidikan. Dan toh sebesar apapun pembelaan saya tentang pesantren sejatinya tak penting, karena pesantren telah bertahan ratusan tahun melampaui zaman. Tak akan mudah goyah dengan isu-isu atau pemberitaan receh yang demikian tersebut.
Hilangnya Marwah Pendidik
Kerangka transaksional itulah yang membuat pendidik hanya sekadar pekerjaan. Dia merasa dirinya hanyalah penyedia layanan jasa, sebagaimana tukang cukur, tukang pijet, ataupun servis motor. Ia bekerja sesuai jam kerja, menuntaskan apa yang ditugaskan, dan hanya memikirkan apa yang perlu dipikirkan. Pendidik tak punya azzam (keinginan yang kuat) dan tak punya ghirah (semangat). Ia telah kehilangan ruh (jiwa) seorang pendidik.
Siswa, orang tua, dan masyarakat pun juga akhirnya berpikir demikian. Pendidik dianggap ‘cuma’ pekerjaan. Siapapun berhak menuntut, menagih, bahkan intervensi soal pendidikan. Pendidik tak perlu dimuliakan, pekerjaan biasa, dan mudah digantikan. Jika suatu peradaban, suatu bangsa, suatu masyarakat tak memuliakan pendidik, maka sejatinya ia tak memuliakan ilmu pengetahuan. Kerana ilmu pengetahuan dianggap sebagai barang murah yang mudah didapatkan dimana-mana, tak perlu pendidik.
Jiwa Pendidik Lebih Utama
Perang melawan kebodohan, itulah jalan pendidik. Pendidikan adalah jalan yang sunyi dari apresiasi. Itulah mengapa, yang terpenting dari sebuah pendidikan bukanlah materi, metode, ataupun fasilitas, bahkan bukan pendidik itu sendiri. Melainkan ruh-nya, jiwanya.
المادّة مهمة ولكنّ الطريقة أهم من المادة. و الطريقة مهمة ولكنّ المدرس أهمّ من الطريقة. و روح المدرّس أهم من المدرّس
Materi itu penting, namun metode (pengajaran) lebih penting daripada materi. Metode juga penting, namun pendidiknya lebih penting daripada metode. Dan jiwa (ruh) pendidik jauh lebih penting daripada pendidik itu sendiri
Pendidik tak serta merta serba benar. Ia punya banyak salah dan kekurangan. Itulah mengapa pendidikan perlu Tri Pusat yang saling melengkapi. Setiap orang punya ‘fungsi’ sebagai pendidik. Setiap individu seyogyanya punya kemauan yang kuat serta semangat membina generasi. Sehingga masa depan umat dibangun bersama melalui pendidikan.
Wallahu a’lam bish-showab
Leave a Reply