Krisis Transisi Menuju Kedewasaan

Oleh

|

|

Waktu Baca: 4 menit

Ternyata istilah Lontang-Lantung ada di KBBI, yang memiliki arti pergi ke sana kemari tanpa tujuan tertentu. Istilah ini memang sering disematkan pada pengangguran. Pemuda usia 25-30 tahun ke atas yang tidak sedang dalam pekerjaan, kuliah, ataupun pelatihan. Bahasa Inggrisnya juga sering disebut dengan NEET (Not in Education, Employment, or Training). Dan ternyata di Amerika Serikat terdapat istilah lain yaitu failure to launch. Baik failure to launch ataupun luntang-lantung keduanya ada filmnya. Menandakan bahwa kedua istilah tersebut sudah sangat umum di kalangan masyarakat.

Namun penting untuk digarisbawahi, bahwa tidak semua pengangguran masuk dalam kedua kategori di atas. Banyak dari mereka yang sedang berusaha mencari pekerjaan dan merasa bertanggung jawab untuk segera mandiri. Terutama di Indonesia, di mana tingkat pengangguran tinggi dan kasus PHK terjadi di mana-mana, sangat mungkin banyak orang yang secara salah dicap sebagai “luntang-lantung” padahal mereka sedang aktif berusahaSayangnya, batas tipis ini sering kali luput dari perhatian kita, sehingga masyarakat dengan mudah menghukumi.

Apa kategori luntang-lantung atau failure to launch?

Saya menemukan istilah failure to launch dalam buku Generasi Cemas (The Anxious Generation) karya Jonathan Haidt. Ia memaparkan bahwa beberapa pemuda memiliki fase tanpa tujuan hidup. Dimana mereka tidak sedang bekerja, tidak kuliah, tidak dalam pelatihan, juga tidak sedang berusaha. Terlihat tidak punya tujuan hidup serta bergantung pada dukungan orang sekitarnya. Inilah yang disebut sebagai failure to launch. Nah sehingga sekali lagi, luntang-lantung tidak ditujukan kepada semua pengangguran.

Beberapa yang sedang kuliah ataupun sedang bekerja juga bisa masuk dalam kategori luntang-lantung atau failure to launch ini. Mereka yang kuliahnya belum berambisi, kuliah hanya sekadar masuk kelas dan belum punya gairah untuk menggali ilmu lebih dari perkuliahannya. Mahasiswa yang belum sibuk belajar atau membeli buku-buku untuk mendalami materi. Bertemu teman-teman hanya untuk nongkrong, main game bareng (mabar), ghibah, atau okelah ngerjain nugas. Belum membuat forum diskusi yang lebih dalam atau lebih ilmiah. Ada yang menjadikan kampus sebagai ajang fashion show, nongkrong, dan foya-foya. Tak sedang fokus dan belum semangat belajar. Karyawan pun juga demikian khususnya yang belum berkeluarga. Memang sudah mandiri, namun belum punya ambisi lain selain untuk dirinya sendiri. Adapun yang berkeluarga, walaupun juga punya sifat individualisme, seringkali keadaan memaksa untuk lebih dewasa.

Perhatikan paragraf di atas bahwa saya menyematkan kata ‘belum’ dan ‘tak sedang’. Karena banyak kasus bahwa ini sekadar fase yang suatu saat segera usai. Namun ada juga yang kasusnya berkepanjangan. NEET dalam kasus ini bahkan sampai mengurung diri di kamar karena menganggap dunia luar begitu keras dan tidak nyaman. Tekanan sosial menyebabkan mereka lebih memilih untuk hidup tanpa harus keluar kamar. Jepang menyebut mereka dengan istilah “hikikomori“.

Jadi istilah failure to launch atau luntang-lantung lebih tepat tertuju pada mereka yang belum punya tujuan hidup. Walaupun sudah bekerja ataupun sedang kuliah. Ia masih meraba-raba apa ambisinya dan apa cita-citanya. Kurang lebih sebagaimana perkataan Buya Hamka lah, “Kalau hidup sekadar hidup, kera di rimba juga hidup. Kalau kerja sekadar kerja, kerbau di sawah juga bekerja.“.

Krisis Transisi Menuju Kedewasaan

Inti dari fenomena ini adalah gagal transisi dari anak yang bergantung pada orang tua atau keluarga menjadi orang dewasa yang mandiri secara penuh. Sebuah cerminan dari krisis transisi menuju kedewasaan.

Faktor ekonomi mungkin yang lebih mudah dilihat. Dimana biaya hidup semakin tinggi, upah yang semakin rendah, serta pekerjaan yang sulit didapat. Hal ini menjadi penyebab kemandirian finansial sulit dicapai. Maka tak heran jika beberapa terkesan bergantung pada keluarga.

Menurut Jonathan Haidt, faktor utama adalah pola asuh (parenting). Terlalu mengedepankan keselamatan dan kesejahteraan anak tanpa batasan yang jelas dapat meng-enable krisis ini. Terlebih jika anak tinggal di rumah untuk waktu yang lama tanpa tuntutan serta tanpa diajari mengambil tanggung jawab di rumah. Seringkali pula orang tua juga membantu menyelesaikan masalah anak. Hal-hal inilah yang mendorong anak hingga usia dewasa memiliki sikap bergantung dan enggan berusaha.

Sebuah mahfudzat mengingatkan saya tentang krisis ini :

إِذَا انْتَمَـــى مُنْتَمٍ إِلىَ أَحَدٍ # فَإِنَّنِـــــيْ مُنْتَمٍ إِلـــىَ أَدَبِــــي

إِنَّ الفَتَى مَنْ يَقُوْلُ ها أَنَذَا # وَلَيْسَ الفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ أَبِي

Ketika seseorang memilih bersandar pada orang lain, maka aku bersandar pada adabku. Karena sesungguhnya pemuda adalah yang mengatakan, inilah aku’ bukan seseorang yang berkata ‘inilah ayahku’.

Penutup

Mereka yang sedang menghadapi fase failure to launch atau lontang-lantung sejatinya adalah orang yang perlu ditolong dan dibantu. Memberikan tekanan atau bahkan melabeli mereka bukanlah solusi terhadap masalah ini. Menuntut untuk segera mandiri memanglah penting, tapi jika dilakukan dengan cara yang salah malah akan membuat gejala lebih parah lagi. Ke depannya, saya ingin membahas bekaitan dengan krisis ini ditinjau dari pemahaman Aqil Baligh dalam Islam. Stay tune. Semoga bermanfaat.

Bagikan post ini :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kolom Pencarian

Post Terbaru

Arsip Blog

Berlangganan via E-Mail