Mentalitas Kepiting

Oleh

|

|

Waktu Baca: 5 menit

Video ini viral. Menurut saya, sebuah tragedi kecil yang unik dan menggelitik. Salah seorang pemuda ditilang polisi di pertigaan jalan. Pemuda tersebut tidak terima, kemudian ia mulai merekam dan memprotes polisi yang menilang. Menurutnya, tidak ada alasan jelas bapak polisi tersebut menilang. Walaupun di dalam video, polisi jelas menyebutkan bahwa pemuda tersebut tidak mengenakan plat motor bagian belakang serta knalpot brong. Kemudian si pemuda membantah dan mengatakan bahwa ini bukan kegiatan tilang resmi. Kenapa hanya dia yang diberhentikan dan ditilang. Lucunya, dia protes ke polisi dan juga turut memberhentikan sebuah motor yang kebetulan spoinnya cuma satu. Dia mengatakan, “ini spionnya mana?” – sembari menunjuk motor yang ia hentikan. Menurutnya, motor lain juga melanggar, tapi kenapa hanya dia yang diberhentikan dan ditilang.

Mengamati video ini, saya jadi terpikir. Kenapa ya kok demikian? Saya enggan bertanya kepada AI, hanya ingin menerka sekaligus merangkai hikmah dari video ini.

Mas-mas ini, pemuda ini, jelas salah. Dia melanggar hukum dan polisi jelas sah untuk menangkap atau menilang pemuda ini. Jika polisi menemukan pelanggaran di lapangan memang, ia sah menilang atau menindak tanpa harus melalui operasi resmi. Namanya saja Aparat Penegak Hukum. Berbeda jika tanpa pelanggaran, tiba-tiba melakukan pengecekan surat-surat, nah ini baru dilarang.

Melanggar itu Mendapat Keuntungan

Nah, inilah yang namanya mentalitas kepiting. Orang ini, manusia ini, sebenarnya tahu betul bahwa yang dilakukannya itu salah. Saat mencopot plat nomor, dalam hatinya mungkin sadar itu melanggar. Saat memasang knalpot brong yang berisik itu, dia tahu itu melanggar. Tapi tetap dikerjakan entah apa alasannya. Karena ketika dia melanggar, dia mendapatkan keuntungan dari pelanggarannya. Anggap saja alasannya pakai knalpot brong biar keren, mungkin saja ada orang lain yang ingin keren dengan cara serupa, namun karena orang lain taat aturan, ia tidak jadi melakukan hal tersebut. Nah, orang lain berkorban “tidak merasa keren” demi taat aturan (plus sebenarnya juga etika) sedangkan pemuda di video tetap menggunakan knalpot brong. Maka pemuda tersebut sudah mendapatkan keuntungan dari pelanggarannya.

Ketika dia berfoya-foya, bergagah-gagahan, keren-kerenan dengan knalpot brong dia berbahagia sendiri. Tapi ironisnya, ketika sudah tertangkap dan ditilang, barulah ia cari teman. Ia mencari-cari kesalahan orang lain dan meminta mereka untuk juga bertanggungjawab atas kesalahannya.

Mentalitas Kepiting

Inilah mentalitas kepiting, mentalitas dimana tidak mau orang lain sukses atau selamat sedangkan dia sendiri terjebak atau tertangkap. Istilah crab mentality didasarkan pada perilaku kepiting yang terjebak dalam ember, dimana jika ada beberapa mereka hampir keluar, kepiting lain menariknya ke bawah. Sebenarnya kepiting bukan karena iri, tapi secara alami sekadar mencari pegangan untuk berjalan. Sayangnya pegangnya yang teraih oleh capitnya adalah kepiting lain.

Mentalitas kepiting tidak hanya dalam kasus pelanggaran sebagaimana contoh diatas. Tapi juga berlaku dalam hal kesuksesan. Ada orang yang dengan mudahnya iri, dengki, atau tidak suka ketika melihat orang lain disekitarnya lebih sukses atau lebih berhasil darinya. Sejatinya ini menggambarkan sikap egois dan picik di mana seseorang berusaha “menarik ke bawah” atau menghalangi kesuksesan orang lain yang dianggap lebih maju atau berhasil darinya. 

Misalnya dalam belajar, orang lain lebih cepat belajar dibandingkan dirinya. Lalu dengan mudah dia berkomentar, “alah belajar itu ngga penting”. Atau bahkan mencoba melakukan upaya-upaya untuk menghalangi temannya belajar. Dalam hal berdagang, melihat orang lain lebih untung dan lebih sukses, ia tidak suka. Ia mencari-cari cara untuk menghalangi kesuksesan orang lain.

Tiga Hipotesa

Sekali lagi saya tidak bertanya AI, agar tulisan saya lebih murni dan alami. Ada tiga hipotesa yang menurut saya menjadi latar belakang crab mentality ini.

Pertama, dalam konteks mentalitas kepiting para pelanggar hukum. Bahwa mentalitas kepiting muncul akibat penegakkan hukum yang tidak adil. Bayangkan jika polisi berdiri dalam satu sisi perempatan, melihat ada pengendara motor yang tidak mengenakan helm. Pengendara motor tersebut ditangkap dan ditilang. Di sisi lain perempatan, ada pengendara lain yang juga tidak mengenakan helm dan kebetulan tidak terlihat oleh Polisi. Tapi terlihat oleh si pengendara yang ditilang. Bagi yang ditilang kejadian tersebut adalah ketidakadilan di depan mata.

Tapi itulah upaya penegakkan hukum, memang terlihat tidak adil. Tapi inilah Dura Lex, Sed Lex, hukum itu keras, tapi itulah hukum. Ketahuilah bagi si pengendara yang ditilang memang tidak adil, tapi bagi pengendara yang sedang mengikuti aturan — mengenakan helm, pengendara yang ditilang adalah keadilan.

Saya juga sering sebal sambil mikir, mengapa sih orang dengan leluasa dan lenggangnya merokok di atas kendaraan? bukankah ini melanggar peraturan? Tapi saya juga mencoba memahami alasan utamanya, mereka merokok di jalan karena tidak pernah ditilang dan penegakkan hukum untuk itu sedikit sekali.

Kedua, mentalitas kepiting karena jumlah penduduk yang padat. Ini hipotesa saya, sekali lagi belum tanya AI. Nanti saya coba tanyakan apakah hipotesa saya benar. Penduduk yang padat cenderung berebut ‘keuntungan’, bisa jadi sumber daya, lapangan pekerjaan, ataupun pelanggan dalam konteks bisnis. Karenanya, persaingan sangat besar di dalam suatu wilayah tertentu. Dan di dalam analogi kepiting juga begitu, seandainya hanya ada satu kepiting dalam satu ember tentu tidak ada mentalitas menjatuhkan. Seandainya setiap orang sejahtera dengan berbagai pekerjaan atau bidang yang ditekuni lantaran sumber daya yang banyak dan melimpah tentu saja tidak ada mentalitas menjatuhkan. Mengapa menjatuhkan orang lain jika diri sendiri sudah sejahtera?

Ketiga, mentalitas kepiting karena jiwa sosial tinggi. Menurut saya, jiwa sosial masyarakat Indonesia itu tinggi. Nongkrong, berbagi, bercerita itu cukup tinggi. Dampaknya adalah kesetaraan adalah hal yang diharapkan. Jika jiwa sosial tinggi dengan sikap positif seperti saling menghargai dan saling menghormati tinggi, maka perbedaan harta, jabatan, ataupun derajat bukanlah sebuah masalah. Mas Duta Sheila on 7 toh tetap ronda walaupun jadi idola anak muda se-Indonesia. Karena kesetaraan dibangun dengan baik atas dasar saling menghargai dan menghormati. Tapi bila satu bagian merasa terhina ketika orang lain lebih tinggi, atau satu bagian merasa sombong ketika orang lain lebih rendah, inilah yang memicu crab mentality. Dan banyak kasus ini di masyarakat kita.

Solusi

Solusinya ya sederhana, jangan punya crab mentality. Kalau orang lain sukses ikutlah berbahagia. Apabila orang lain sejahtera doakan. Kalau orang lain senang, ikutlah senang. Bahkan saya pernah mendapatkan nasihat dari seorang ustadz, beliau menyampaikan kurang lebih, “Kalau hati kita mulai muncul tanda-tanda iri kepada seseorang, maka bersegeralah menghadiahi orang tersebut. tahadduu tahabbu (saling memberi hadiah niscaya akan saling mencintai)”. Serta jangan merasa rendah ketika orang lain tinggi, jangan merasa terhina ketika orang lain menyombong, dan bersabar atas segala cobaan hati. Saya menulis juga dalam rangka mewasiati diri sendiri. Semoga Allah mudahkan hati kita untuk senantaisa sejuk walaupun banyak tiupan setan yang berupaya memanas-manasinya.

Bagikan post ini :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kolom Pencarian

Post Terbaru

Arsip Blog

Berlangganan via E-Mail