Memang Paling Enak Menyalahkan Rakyat

Oleh

|

|

Waktu Baca: 5 menit

Teori Kontrak Sosial – Reossau

Sejatinya setiap manusia adalah makhluk yang merdeka dan berdaulat. Merdeka berarti tidak ada orang lain yang menguasai dirinya. Berdaulat berarti ia memiliki hak untuk mengatur dirinya sendiri. Jika dalam islam, merdeka berarti hanya Allah-lah satu-satunya penguasa untuk dirinya dan aturan Allah-lah satu-satunya yang harus diikuti. Agama tidak mengharuskan seseorang pakai helm ketika naik motor. Agama tidak mengharuskan seseorang bayar paja. Agama juga tidak mengharuskan setiap orang punya KTP.

Namun singkatnya, manusia menyerahkan sebagian kemerdekaan dan kedaulatannya untuk ditukar dengan kebutuhan, keinginan, dan kepentingannya. Contoh di negara kita Indonesia. Kita butuh rasa aman, daripada sewaktu-waktu rumah kita dirampok, maka kita taat buat KTP Sebagian kita ingin Iphone, walaupun ada smartphone lain, tapi sebagian kita inginnya ya Iphone. Maka kita membayar pajak agar negara bisa mengatur bagaimana Iphone tetap bisa kita beli di Indonesia. Kita punya kepentingan sebagai seorang muslim untuk berdakwah, maka kita rela mengikuti aturan-aturan negara agar kepentingan kita di akomodir.

Nah itulah, itulah negara. Negara adalah moderator kebutuhan, keinginan, dan kepentingan manusia yang ada di dalamnya. Jika dalam Trias Politika, maka Legislatif yang melahirkan bentuk moderasinya, Eksekutif yang melaksanakan, dan Yudikatif yang menegakkan keadilan jika terjadi ketidakadilan. Agar aktivitas moderasi berjalan dengan lancar, manusia rela menyerahkan sebagian kemerdekaan dan kedaulatannya. Negara-lah yang menerimanya.

Siapa Pemerintah, Siapa Negara?

Ketika orang-orang mengatakan, “Negara ini korup!”, siapa yang disebut korup? Negaranya kah? Apakah ada dasar negara, konstitusi negara, atau ideologi negara yang mendukung korupsi? Biasanya, ini hanya salah sebut, yang dimaksud adalah Pemerintah. Negara adalah entitas yang terdiri dari rakyat, wilayah, pemerintah, dan pengakuan Internasional. Pemerintah adalah sekelompok orang yang diberikan kedaulatan untuk menjalankan negara. Nah yang biasanya disebut korup, adalah pemerintah.

Masalah Insidental, Solusi Cepat

Siapapun orang di balik pemerintah, negara ini tidak akan lebih baik jika masyarakat dan pemerintah gagal memahami makna pemerintah. Benar bahwa Pemerintah adalah pemegang kedaulatan kepemimpinan dalam suatu negara. Ia memiliki peran memimpin, membimbing, dan mengarahkan masyarakat. Adapun tujuannya, arahnya, rambu-rambunya telah diatur oleh negara. Namun pemerintah bukan berarti tukang perintah, apalagi memberi perintah seenak sendiri, yang melanggar kedaulatan-kemerdekaan individu.

Banyak pejabat, khususnya eksekutif, yang hobi menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang insidental. Mereka hobi sekali menyelesaikan masalah-masalah yang nyata, terlihat langsung, dan bisa diselesaikan langsung. Alih-alih melakukan analisa yang mendalam, mencari sumber masalah, mereka lebih senang jika solusi langsung hadir di tangannya, bak Pahlawan.

Surabaya, seorang Walikota, harus marah-marah kepada pengusaha karena salah seorang karyawan mengadu bahwa ijazahnya ditahan. Tak sampai disitu, Waki Menteri Ketenagakerjaan sampai ikut mendatangi kantor perusahaan terkait. Dan lucunya, ia diacuhkan oleh pegawai di perusahaan tersebut. Sampai-sampai Wakil Menteri tersebut harus mengaku, “Saya ini Wakil Menteri, lho”.

Jawa Barat, seorang Gubernur, harus sibuk menjelaskan kenapa terjadi penggusuran di bantaran sungai serta kenapa memutuskan menghapuskan acara wisuda untuk jenjang sekolah. Bahkan mengadakan audiensi khusus masalah ini. Audiensi ini, diliput media, dialog terjadi, dan mereka yang menentang Gubernur, langsung viral.

Saya tidak hendak menilai bahwa keputusan para pejabat tersebut salah. Tapi mari perhatikan, bagaimana bisa, pejabat tertinggi sampai harus turun tangan menyelesaikan masalah yang terjadi di bawahnya. Apakah mereka bekerja sendirian? Kasus ijazah misalkan, apa iya satu negara ini harus lapor ke Wakil Menteri atau Walikota jika ijazahnya ditahan. Apakah tidak ada mekanisme atau sistem yang melindungi hal ini?

Kasus penggusuran bantaran sungai, apa iya harus Gubernur yang menjelaskan? Apakah tidak bisa melakukan sosialisasi masif, penjelasan yang memuaskan, dari seluruh stakeholder terkait untuk menjelaskan masalah ini. Apa harus masyarakat saling menghujat dan menghina satu sama lain dalam satu perkara? Apakah bijak demikian?

Memang Paling Enak, Menyalahkan Masyarakat

Kasus lain yang tak kalah viral adalah kebijakan Vasektomi bagi calon penerima Bansos. Gubernur Jawa Barat melihat kasus dimana seorang ayah yang memiliki anak sampai 11 dan mau 12, namun ayah tersebut tidak mampu, tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia hidup dari belas kasihan dan bantuan orang lain. Menurut Gubernur, ayah tersebut tidak bertanggung jawab. Menurut saya juga.

Tapi memang paling enak melihat masalah dan langsung memberikan solusi instan alih-alih melakukan analisis mendalam. Kalau orang miskin punya banyak anak, potensi anaknya akan miskin juga. Maka, kurangi jumlah anak, vasektomi untuk pria, beres. Kalau pejabat cuma begini saja, uenak. Tapi coba analisis, mengapa si ayah miskin dan tidak bekerja? Mengapa ayah dan ibu tidak mampu merencanakan keluarganya? Mengapa ayah dan ibu memiliki jumlah anak yang banyak? Apakah pendidikannya rendah sehingga gagal merencanakan keluarga? Apakah memang merencanakan demikian? Apakah peluang kerja di wilayah tersebut sempit? dan lain sebagainya. Pemimpin harus waspada, bahwa masalah yang muncul adalah dampak dari masalah lain yang lebih substansial. Selama akar masalah tidak diselesaikan, maka masalah lain akan muncul. Selama akar dari kemiskinan tidak diselesaikan, vasektomi pun tak akan menyelesaikan masalah.

Kemudian kebijakan anak-anak nakal dimasukkan ke barak militer. Sekali lagi, saya tidak menilai keputusan tersebut salah. Namun ada yang janggal dari kebijakan tersebut. Penting bari pemimpin dan masyarakat menyadari, bahwa anak-anak nakal dan bermasalah adalah gejala, bukan penyakit. Mereka adalah gejala dari gagalnya institusi keluarga dan masyarakat menjaga serta mempertahankan nilai-nilai. Selama institusi keluarga yang dimiliki oleh anak-anak masih bermasalah, selama itu pula anak-anak akan kembali bermasalah. Maka membawa anak-anak ke barak militer memang solusi, tapi instan. Harapannya ada pula solusi untuk institusi keluarga dan masyarakat yang mungkin kian rapuh.

Hadirkan Solusi Sistemik, Dampak Luas, dan Tahan Lama.

Mengajak 100 anak ke barak militer, masih ada 1000 anak lagi yang harus dibawa. Besok-besok, setiap anak harus merasakan barak militer. Vasektomi 100 ayah miskin, masih ada 1000 pemuda lain yang kelak akan menjadi ayah. Besok-besok, bisa-bisa setiap orang harus vasektomi. Kegagalan menyiapkan lapangan kerja dan menghadirkan pendidikan yang layak dilimpahkan kepada masyarakat. Sekali lagi, memang paling enak, menyalahkan masyarakat. Padahal kemerdekaan dan kedaulatan mereka sebagian telah diserahkan kepada Pemerintah.

Ayolah, BAPPENAS, stakeholder, Pemerintah, Ilmuwan, atau siapapun yang memiliki kesadaran. Hadirkan solusi yang bersifat sistemik, memiliki dampak yang lebih luas, serta tahan lama. Kalau masalahnya anak-anak atau remaja nakal, ya analisa keluarga dan masyarakat, karena disanalah akar masalahnya. Kalau terjadi kemiskinan ekstrem dan gagal merencanakan keluarga. Analisalah kualitas pendidikan, pemerataan pendidikan, atau masyarakat sekita. Boleh jadi disanalah akar masalah. Insya Allah, kalau solusi dihadirkan secara sistemik, kerjasama banyak pihak, maka dampaknya lebih luas dan tahan lama.

Bagikan post ini :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kolom Pencarian

Post Terbaru

Arsip Blog

Berlangganan via E-Mail