Sedikit Latar Belakang untuk Seri Tulisan Fitrah Based Education
Interaksi saya dengan Pendidikan Berbasis Fitrah atau Fitrah Based Education (FBE) mungkin cenderung baru, belum ada tiga tahun. Terima kasih kepada Sekolah Syakila Yogyakarta yang telah memberikan saya ruang untuk belajar sekaligus mendidik disini. Mulanya saya adalah manajer tim kreatif di salah satu perusahaan digital marketing. Namun satu dan lain hal membuat saya banting setir menjadi pendidik atau fasilitator (bahasa di Sekolah Syakila Yogyakarta). Itupun ketika pertama kali berkecimpung, saya merasa belum cukup mampu atau terbiasa mengajar, khawatir kurang sabar atau kurang telaten dalam mendidik. Saya cuma bilang, ‘Saya coba dulu ya…’, khawatir tidak mampu memenuhi harapan sebagai seorang pendidik.
Walaupun cenderung baru berkecimpung di pendidikan, namun gagasan dan idealisme soal pendidikan telah lama saya suarakan. Bahkan salah satu topik yang sering saya tulis memang pendidikan. Tulisan-tulisan saya di blog lama (setiawanparusa.wordpress.com) beberapa berkomentar soal pendidikan. Itulah salah satu alasan mengapa saya pindah dari Ponorogo ke Yogyakarta, agar suara saya soal pendidikan memiliki legitimasi yang lebih kuat. Berharap menjadi seorang pakar. Saat ini (ketika tulisan ini dibuat, saya masih menempuh kuliah di bidang Pendidikan)
Setelah berinteraksi dengan Sekolah Syakila Yogyakarta yang berlandaskan Pendidikan Berbasis Fitrah atau Fitrah Based Education. Beberapa hal memang terasa relate. Dan disinilah saya perlahan-lahan mempelajari pendidikan berbasis fitrah sekaligus mengamalkannya atau mempraktekkannya. Walaupun satu dan lain hal memang tidak sepenuhnya berlandaskan FBE, tapi menurut saya itulah proses pendidikan bagi pendidiknya atau bagi lembaga itu sendiri. Tulisan dengan hashtag #KisahBersamaFBE ini akan menceritakan sedikit pengalaman saya ataupun fasilitator lain tentang penerapan FBE di lembaga kami. Harapannya cerita seputar ini tidak melulu dari saya, mungkin bisa dari pendidik/fasilitator lain. Semoga yang sedikit ini bisa menjadi inspirasi bagi pendidik yang lain.

Problema Pendidikan Iman
Salah satu semangat dalam pendidikan berbasis fitrah adalah melandasi semua aktivitas pendidikan dengan iman. Bagi FBE, Fitrah iman adalah yang paling penting dan pertama kali distimulasi atau ditumbuhkan. Karena perkembangan fitrah iman ini menentukan pandangan hidup atau dalam bahasa lain worldview seseorang ke depannya. Orientasi hidup, pertimbangan dalam mengambil keputusan, semangat yang dibawa sehari-hari sangat tergantung pada kualitas penumbuhan fitrah iman dalam diri seseorang. Dan kata kunci dari penumbuhan fitrah iman adalah membangun kecintaan kepada Allah.
Artinya setiap aktivitas ketakwaan seseorang dilandasi atas dasar cintanya karena Allah. Walaupun tetap perlu memberikan ruang dalam hati untuk takut pada Allah (khauf), namun semangat yang perlu dididik pada diri adalah Allah cinta kepada kita (ar-rahim), karenanya kita juga perlu membangun kecintaan kepada-Nya (mahabbah) dan berharap agar Allah senantiasa cinta kepada kita serta memaafkan kesalahan-kesalahan kita (raja’). Karenanya penting dibangun dalam diri anak betapa besarnya kasih sayang Allah (rahmah).
Nah, nuansa kasih sayang ini juga yang seharusnya perlu kita citrakan kepada anak. Kala menjadi pendidik, maka menjadi pendidik yang penuh kasih sayang. Kala menjadi orang tua, maka menjadi orang tua yang penuh kasih sayang. Sehingga anak mudah untuk memahami bahwa kasih sayang orang disekitarnya begitu besar, apalagi kasih sayangnya Allah subhanahu wata’ala.
Namun, nuansa ini kan tidak mudah didapatkan oleh seorang anak. Apalagi di dalam lingkungan yang kurang mengerti pendidikan berbasis fitrah. Sebagian besar menganggap bahwa pendidikan iman sama dengan pendidikan syariat. Anak yang beriman adalah anak yang rajin menjalankan syariat. Anak sholeh adalah anak yang rajin shalat. Walaupun tidak sepenuhnya salah, namun upaya penumbuhan fitrah imannya yang kemudian kurang tepat Sehingga, alih-alih memahamkan keimanan, sebagian orang lebih memilih pendekatan pembiasaan atau behavioristik. Anak-anak dibiasakan shalat, disibukkan dengan mengaji al-Quran, bahkan sampai dipaksa bahkan dimarah-marahi. Padahal sebagian pemaksaan itu terjadi bahkan pada anak yang belum diwajibkan atasnya shalat (belum mukallaf).
Saya teringat masa-masa menjadi santri sekaligus mahasiswa di salah satu kampus asrama. Kala menjadi mahasiswa baru, sama, kami untuk shalat shubuh bahkan harus ada beberapa sayyid (panggilan untuk kakak tingkat) yang keliling dan memukul-mukul pintu kamar asrama. Keliling setiap lantai setiap kamar setelah adzan dan membangunkan kami mahasiswa untuk shalat shubuh berjama’ah di masjid. Padahal sudah mahasiswa, santri, alumni pondok lagi, tapi masih harus dikelilingi untuk shalat shubuh.
Lalu masa berganti, kami yang menjadi sayyid, kala itu salah seorang dari kami memiliki ide revolusioner. Beliau saat ini malah menjadi dosen di kampus tersebut. Beliau menggagas sistem dari pemaksaan menuju pemahaman. Ternyata kebanyakan teman-teman senior sepemikiran. Memang seharusnya perlakuan untuk mahasiswa tidak dipaksa. Akhirnya kami mengganti sistem, daripada harus keliling, memukul-mukul pintu setiap kamar setiap lantai, kami menyetel murottal 30 menit sebelum adzan shubuh. Kami menganggap bahwa mahasiswa sudah dewasa, tanpa harus disuruh dan dipaksa seharusnya ada kesadaran untuk bangun lalu shalat shubuh di masjid. Berharap mahasiswa bergerak karena paham, bukan karena dipaksa.
Luar biasa, setelah sistem berganti dari pemaksaan menuju pemahaman, shalat shubuh di masjid yang sebelumnya penuh ternyata langsung sepi, sisa setengah 😂. Sampai-sampai beberapa senior harus dipanggil oleh dosen-dosen, mereka bertanya, apa yang terjadi, bagaimana bisa masjid kampus islami yang tadinya shalat shubuh penuh tiba-tiba berubah jadi setengah. Kami menjawab, artinya selama ini setengah dari mahasiswa mungkin berangkat ke masjid atas dasar paksaan, karena takut dengan sayyid. Sehingga ketika sistem berubah jadi lebih lunak, mereka lebih berani, lebih memilih tidur atau setidaknya shalat di kamar daripada di masjid.
Tapi kami juga menyampaikan, gerakan perubahan ini membutuhkan kesabaran dan nafas panjang. Mungkin hari ini mereka tidak ke masjid, namun seiring dengan berjalannya pemahaman, mereka akan lebih paten ke masjid daripada biasanya. Harapannya mereka tidak bruwah, ke masjid kalau pas di pondok, tapi kalau di rumah meninggalkan masjid. Gerakan pemahaman ini akan lebih melekat kepada mahasiswa daripada gerakan pemaksaan. Memang pemaksaan terlihat indah, masjid ramai, tapi kemungkinan hanya bertahan sesaat, tak dipaksa tak ke masjid. Itulah yang dikhawatirkan. Pengalaman saya di kampus asrama inilah yang membuat saya akhirnya relate dengan pendidikan berbasis fitrah.
Berapa banyak anak-anak yang lulus dari pondok bruwah, seperti kuda yang lepas dari kandangnya? Berapa banyak yang sudah hafidz/hafidzah malah pacaran atau berbuat maksiat. Berapa banyak mereka yang telah dididik agama dengan baik namun korupsi? Mengapa demikian? Jika sedikit berupaya menganalisis, kemungkinan salah satu alasannya adalah karena mereka beragama atas dasar kebiasaan, bukan atas dasar kepahaman.
Maka alih-alih sibuk memaksa anak untuk ‘terlihat bertakwa’ lebih baik sibuk menanamkan keimanan kepada anak. Memahamkan mereka bahwa ada Dzat yang mencintai kita. Kita diliputi kasih sayang-Nya. Bahwa ada Dzat yang berhak untuk disembah dan kita sangat butuh untuk menyembah-Nya. Sehingga ketika syariat itu datang, ia menjalankan atas dasar cinta bukan atas dasar paksaan atau kebiasaan. Apakah mengutamakan pendidikan iman ini diajarkan rasulullah? Jawabannya adalah IYA!
عَنْ جُنْدَب بْنِ عَبْدِ الله رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا مَعَ النَّبِي صلّى اللهُ علَيْهِ وَ سلّمَ , وَ نَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَة, فَتَعَلَّمْنَا الإِيْمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلّمَ القُرْآنَ , ثُمَّ تَعَلَّمْنَا القُرْآنَ فَازْدَدْنَا بِهِ الإِيْمَانَ
Dari Jundab bin Abdillah radhiyallahu anhu ia berkata : Kami pernah bersama rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kala itu kami adalah pemuda yang hazur (baru akil baligh). Kami belajar iman terlebih dahulu sebelum belajar al-Quran, kemudian kami belajar al-Quran sehingga bertambahlah keimanan kami dengannya (belajar al-Quran). (HR. Ibnu Majah)
Apabila dicari syarah tentang hadits ini penjelasannya sangat jelas bahwa alangkah baiknya dalam mendidik anak, hendaknya ditanamkan dahulu pelajaran bab aqidah atau bab keimanan. Anak dikenalkan terlebih dahulu siapa Tuhannya, bagaimana sifat-sifatnya, apa saja yang telah Tuhan ciptakan, apa saja yang telah berikan kepada kita. Sehingga anak mengenal rabb-nya dan semakin cinta kepada-Nya. Lalu barulah perlahan dikenalkan syariat-Nya, apa yang sang Khaliq tuntunkan dan inginkan kepada kita.
Salah satu poin syarah dari hadits ini yang menurut saya sangat penting adalah
ترتيبُ الأولويَّاتِ عندَ تربيةِ النَّشءِ، والحِرصُ على مَلْئِهم بالإيمانِ قبلَ مَلْئِهم بالحفْظِ المُجرَّدِ
Perlunya menetapkan prioritas dalam pendidikan dan perkembangan anak. Dan mengupayakan sebaik mungkin untuk memenuhi anak dengan keimanan sebelum memenuhinya dengan hafalan semata.
Berlanjut insya Allah. Wallahu a’lam bish-showab
Leave a Reply