Tak Perlu Berharap pada Anak

Oleh

|

|

Waktu Baca: 5 menit

Anak yang Tak Sesuai Harapan

Saya teringat kejadian tahun 2022 di Bantul, ada berita yang lumayan viral. Kala itu heboh seorang guru yang dituduh atau dianggap memaksa muridnya berjilbab. Sebelum komentar lebih lanjut tentang yang terjadi. Saya membaca kembali berita tersebut. Memang fakta-faktanya mengarah pada pemaksaan melalui verbal. Bukan sekadar menganjurkan. Sayangnya itu terjadi di masa MPLS atau pengenalan sekolah. Siswi tersebut sampai depresi lantaran upaya pemaksaan tersebut. Hingga akhirnya Dinas Pendidikan turun tangan dan akhirnya siswi tersebut pindah sekolah.

Mungkin kejadian serupa tidak hanya terjadi di Bantul. Mungkin bisa saja terjadi di tempat lain. Namun dengan kasus yang berbeda, pola berbeda, dan tingkat keviralan berbeda. Kita tidak tahu berapa banyak siswa-siswi yang mendapatkan pemaksaan. Entah bagaimanapun bentuknya. Tak hanya dari guru atau pendidik di lingkungan sekolah. Bahkan bisa saja terjadi di rumah atau di masyarakat.

Berbeda halnya dengan di Syakila. Tak hendak membanggakan, namun saya sendiri sebenarnya heran. Kala itu saya masih pemula di lingkungan Fitrah Based Education. Ketika ada rapat fasilitator/pendidik, salah satu fasilitator bercerita. Bahwa beliau baru saja menerima curhatan salah satu siswa. Siswa tersebut kemarin telah menembak crush-nya atau bahasa kunonya gebetannya. Tambahan, juga memang biasa di sekolah kami dapat membahas masalah satu per satu siswa. Ini salah satu keuntungan jika perbandingan pendidik dan siswa sedikit. Mengingat perbandingan di Syakila sejauh ini baru 1:4 untuk jenjang SMP-SMA.

Uniknya respon para fasilitator, pendidik, bahkan kepala sekolah sekalipun cenderung santai. Bahkan alhamdulillah, ada syukurnya, ada. Tak heran, sedih, kecewa, bahkan seperti hendak marah. Diantara kesyukuran pendidik yang mendapati muridnya pacaran khususnya di usia remaja adalah ‘alhamdulillah, murid kita berkembang fitrah seksualitasnya’. Atau setidaknya di zaman ini, bolehlah bersyukur, ‘Alhamdulillah, murid kita normal‘. Dan satu lagi kesyukuran yang juga penting, ‘Alhamdulillah, murid mau dan berani bercerita ke fasilitator/pendidik‘.

Mungkin pembaca disini tidak heran, ‘apa yang aneh?’, ‘mengapa mengherankan?’, ‘apa yang tidak biasa?’. Namun bagi saya yang berasal dari lingkungan pendidikan islam pesantren. Boleh dibilang yang berasal dari kultur behaviorisme. Hal seperti ini agak berbeda. Karena kalau di lingkungan saya yang dahulu, mungkin tidak ada murid yang berani bercerita atau terbuka sedemikian rupa kepada gurunya. Apalagi menceritakan perkara yang menurut nilai-nilai Islam benar-benar ditentang. Kalau saya gurunya, tidak di lingkungan FBE, mendapatkan cerita seperti itu, mungkin saya akan marah. Mungkin saya seperti guru yang akan memaksakan muridnya mengenakan jilbab.

Sebenarnya saya sendiri pernah ngomel panjang lebar di blog. Ketika menjadi pengurus mahasiswa alumni pondok. Gara-gara menemukan fakta bahwa banyak sekali alumni pondok yang baru lulus banyak yang pacaran. Bahkan mahasiswa-mahasiswa seangkatan saya sendiri. Hampir setiap malam sebagian mereka telpon-telponan dengan pacarnya di asrama mahasiswa santri.

Sebagaimana da’i, Pendidik tak perlu berharap

Satu hal yang perlu dipahami adalah pendidik tidak perlu terlalu berharap kepada siswa. Ya, apapun dan bagaimanapun itu. Sebagaimana da’i tidak perlu berharap kepada mad’u. Karena tugas pendidik dan da’i kurang lebih sama, membimbing orang untuk menjadi lebih baik lagi. Namun perubahan untuk menjadi lebih baik bukanlah kuasa kita dan bukan tanggung jawab kita. Seringkali salah kaprah. Guru merasa berdosa kalau muridnya tidak memakai jilbab. Guru merasa berdosa kalau muridnya pacaran. Guru merasa berdosa kalau muridnya bermaksiat. Akhirnya guru kecewa kemudian disusul amarah kepada siswa. Padahal guru sebagaimana da’i , sebagaimana dicontohkan pula oleh para nabi dan rasul, termasuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa tanggung jawab utama pendidik, da’i, nabi, dan rasul adalah sekadar menyampaikan. Allah subhanahu wata’ala berfirman

وَمَا عَلَيْنَآ إِلَّا ٱلْبَلَٰغُ ٱلْمُبِينُ

Artinya: Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas”. (Q.S. Yasin ayat 17)

Ayat diatas cukup jelas. Namun sebagai tambahan penjelasan terdapat dalam Tafsir as-Sa’di:

“Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan dengan jelas,” yakni menyampaikan dengan jelas yang dengannya perkara-perkara menjadi terjelaskan yang memang dituntut untuk dijelaskan. Adapun selain dari itu berupa ayat-ayat usulan atau minta dipercepatnya azab, maka bukan tugas kami. Tugas kami hanyalah menyampaikan dengan jelas, dan kami telah melaksanakan dan menjelaskannya kepada kalian. Jika kalian menjadikannya sebagai petunjuk, maka itu adalah bagian yang baik dan taufik bagi kalian, namun jika kalian sesat, maka kami sama sekali tidak mempunyai urusan apa pun.

Maka pendidik hanyalah menyampaikan, mengupayakan yang terbaik untuk mendidik generasi. Namun perubahan yang terjadi pada siswa atau murid serta hasil dari pendidikan itu sendiri bukanlah ‘domain’ dari pendidik. Jika anak bermasalah, seolah-olah jadi tanggung jawab besar bagi pendidik ataupun orang tua. Apalagi tekanan sosial yang terjadi di masyarakat. Seolah-olah semua salah ‘saya’ (baik itu pendidik ataupun orang tua) karena tak mampu mendidik dan membimbing dengan baik. Padahal hasil sekali lagi bukanlah domain kita sesayang apapun kita kepada murid ataupun anak kita.

اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُۚ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) tidak (akan dapat) memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia paling tahu tentang orang-orang yang (mau) menerima petunjuk. (Q.S. Al–Qashas 56)

Seringkali orang tua atau pendidik stres sendiri saat ada anak/siswa yang dianggap tidak sesuai harapan. Bahkan yang demikian ini dengan mudah memunculkan perasaan benci dan marah. Na’udzubillah. Jika demikian, sesungguhnya setan dan iblis telah berhasil. Berhasil menghasut orang tua dan guru untuk membenci anak/muridnya sendiri. Karena kebencian dan amarah kepada murid atau anak sendiri pasti datangnya dari setan dan iblis.

Maka tanggung jawab pendidik serta orang tua adalah membersamai. Mengupayakan yang terbaik untuk mendidik anak. Mengidentifikasi masalah, melaksanakan, serta mengevaluasi perjalanan pendidikan anak. Namun masalah hasil adalah milik Allah. Jika Allah berkehendak, maka anak insya Allah akan sesuai harapan. Jika tidak, Allah Maha Pemberi Petunjuk. Karenanya yang tidak boleh lepas dari pendidik dan orang tua adalah mendoakan anak. Bagaimana mungkin mengaku telah mengupayakan yang terbaik bagi anak namun tak pernah mendoakan mereka? Naudzubillah. Semoga tulisan ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua, para pendidik dan orang tua. Wallahu a’lam bish-showab.


Kedepannya tulisan-tulisan di website ini tentang pendidikan berbasis fitrah atau Fitrah Based Education tak lagi menggunakan #KisahBersamaFBE dalam judul. Sehingga apabila ingin mencari tentang Fitrah Based Education di web ini dapat langsung menggunakan pencarian 'fitrah' atau 'fbe'. Kemungkinan ke depan juga saya buatkan poster di sebelah kanan untuk langsung memunculkan kategori 'Fitrah Based Education'. Anda juga bisa mensubscribe website ini via e-mail dengan menuliskan e-mail di bagian kanan atau bawah dari web ini. Terima Kasih.

Bagikan post ini :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kolom Pencarian

Post Terbaru

Arsip Blog

Berlangganan via E-Mail