Kemarin, saya me-reblog tulisan saya sendiri di tahun 2020 tentang The Super Mario Effect. Bahwa permainan merupakan hal yang agak mirip dengan matematika karena tentang pola, problem solving, dan kegigihan. Kali ini saya hendak me-reblog kembali tulisan saya di Nalar Pemuda Indonesia berjudul : The Finite dan Infinite Games dengan sedikit perubahan. Versi asli bisa dibaca disini.
Mengapa reblog? Karena setelah saya membaca buku tentang kesehatan mental anak dalam buku The Anxious Generation-nya Jonathan Haidt, banyak hal yang menurut saya relate. Salah satunya tentang game online dan tak online. Coba perhatikan obrolan antara Arafah Rianti, Halda, dan juga Raditya Dika di video berikut ini (sudah saya atur agar mulai di menit 26:21 sampai menit 28.00).
Kapan-kapan kita bahas khusus tentang Raditya Dika yang produktif walaupun main game dengan kesulitan Halda & Arafah yang susah terlepas dari gamenya. Salah satu alasannya disebutkan oleh Raditya Dika, “yang susah (sambil produktif) game kaya roblox tuh…. karena bareng orang lain”. Kapan-kapan tapi. Karena ini akan saya bahas juga sebagai apa yang saya dapat dari buku The Anxious Generation. Sekarang baca ini dulu aja :
The Finite and Infinite Games
Pada tahun 1986, Profesor bernama James S. Carse menulis buku yang sangat menarik dan berpengaruh. Buku tersebut berjudul, The Finite and Infinite games. Beliau menyampaikan bahwa dunia ini berjalan dengan dua jenis permainan (games), Finite Games dan Infinite Games. Dan pengetahuan pemain (termasuk kita) terhadap jenis permainan yang sedang dimainkan akan sangat menentukan.
Finite Games, adalah permainan biasa. Dimana pemainnya pasti, peraturannya tetap, dan kita juga dapat dengan jelas mengetahui kapan menang dan kapan kalah. Finite Games seperti permainan biasa yang biasa kita lakukan seperti sepak bola, basket, catur, dan lain-lain. Aturannya tetap, pemainnya pasti, dan menang-kalahnya jelas.
Berbeda dari Finite Games, infinite Games adalah permainan yang tidak jelas. Bayangkan suatu permainan yang diikuti oleh pemain yang tidak tetap (bisa berubah), peraturan yang tak pasti, dan ketidakjelasan kapan menang atau kalah. Aturan dibuat sesuka para pemainnya. Adapun tujuan dari jenis permainan ini bukanlah menang atau kalah. Tujuan dari permainan tersebut adalah agar tetap berlangsung. Simon Sinek yang sedang membahas ini dalam bukunya The Infinite Games mencontohkan Perang Dingin. Perang dingin tidak ada aturan harus berperang seperti apa. Perang dingin juga tidak jelas, siapa yang berada di Blok Timur maupun Barat, semua bisa berubah. Dan Perang Dingin tidak akan ada yang menang maupun kalah. Permainan hanya akan berhenti ketika semua pemain keluar.

Finites Player vs Infinite Player
Jika pemain sadar bahwa ia sedang bermain finite games, maka segalanya akan mudah. Dia tahu kapan menang dan kapan kalah. Kalau ia sadar sedang bermain aturan infinite games, maka masih mudah pula. Karena dia tahu kapan harus berhenti dan kapan lanjut. Dia mengerti kemampuannya untuk terus tetap berada dalam infinite games.
Masalah yang terjadi adalah ketika pemain finite games harus berhadapan dengan infinite games. Contohnya adalah ketika Perang AS vs Vietnam, Perang Uni Soviet vs Afghanistan, Perang Inggris vs Indonesia, dan Perang Isarel vs Palestina. Perang-perang diatas adalah contoh ketika AS, Uni Soviet, Sekutu, dan Israel memiliki goal dan mindset sebagai finite games, tapi Vietnam, Afghanistan, Indonesia, dan Palestina memiliki mindset sebagai infinite games.
Ambil contoh Inggris mencoba membumihanguskan Surabaya dalam Pertempuran 10 November 1945. Inggris adalah finite player. Ia akan merasa menang ketika berhasil menguasai Surabaya. Namun jumlah pemainnya terbatas, karena pertempuran ada di Surabaya. Inggris merasa memenguasai pertempuran. Bahkan membuat ultimatum untuk menyerang Surabaya dari darat, laut, dan udara. Walau mencekam, Inggris tetaplah finite player.
Masyarakat Indonesia khususnya area Surabaya. Mereka datang sebagai infinite player. Terbukti dengan semboyannya yang luar biasa, merdeka atau mati. Inggris hanya ingin menguasai Surabaya, adapaun Indonesia hanya ingin merdeka. Sebanyak apapun resources, waktu, dan kekuatan yang akan dikeluarkan Inggris, Indonesia akan tetap berperang, bahkan seumur hidup bila perlu. Demi mempertahankan Indonesia. Inilah mentalitas infinite player, ukuran kemenangan tak terbatas pada satu titik. Tapi menang ketika pemain lain mengundurkan diri. Selamat Tinggal Penjajah.
Begitu pula ketika AS vs Vietnam. Israel vs Palestina, dll. Semua penjajah sejatinya adalah finite player, ia terbatas. Ia tak akan mampu menahan persistensi dari infinite player. Permainan semacam ini tidak akan pernah selesai kecuali salah satu dari pemain menarik diri dari peperangan. Namun Israel vs Palestina adalah kasus unik, karena Zionis tersebut memperpanjang permainan dengan cara mengundang Yahudi-Zionis dari berbagai negara. Sehingga peperangan dapat berlangsung sangat lama.
Pendidikan adalah Infinite Games
Sejatinya banyak hal dalam kehidupan ini berupa Infinite Games, mengingat kita tak banyak bersepakat soal aturan main.
- “Anakku adalah yang terbaik” – versi apa? dalam hal apa?
- “Klub kebanggaanku adalah yang terkeren” – kenapa? kok bisa? Memang kita semua sepakat?
- “Kampusku nomor satu” – dalam hal apa? Siapa pengatur rank-nya?
Lembaga pendidikan adalah infinite player. Pendidikan adalah infinite games. Pendidikan diharapkan berlangsung selama mungkin kalau bisa selamanya. Dan kita selamanya tidak akan bersepakat mana yang disebut yang terbaik dalam pendidikan. Apakah kalau masuk World Class University berarti bagus? Versi mana – THE atau QS WUR? Apakah semua kampus sepakat dengan penilaian atau rank tersebut? Apakah kalau jurnal masuk Scopus sudah pasti bagus dan bermanfaat?
Azhar berdiri ratusan tahun, melewati berbagai masa mulai dari perang, keruntuhan khilafah, pemberontakan, revolusi militer, dsb. Tapi al-Azhar tetap menjadi pendidikan terkemuka walau tak masuk ranking-ranking versi mana itu. Maka heranlah dengan bahasa-bahasa finite-mindset dalam menjalankan pendidikan. “Kampus terbaik #2 di Asia”, “Kampus terbaik #5 di Dunia versi BLA-BLA-BLA…”, dst. Dengan pemikiran ini, pendidikan seharusnya tak pusing-pusing memikirkan soal ranking.
Pendidikan seharusnya jangan terlalu banyak berbicara tentang ranking, akreditasi, dan prestasi. Pendidikan seharusnya lebih banyak berbicara tentang manusia, nilai-nilainya, prinsip-prinsipnya, serta ideologinya. Kita ini mendidik manusia, bukan mendidik piala.
Leave a Reply