Bermula dari Safetyism

Oleh

|

|

Waktu Baca: 4 menit

Mari masuk pada tulisan pertama tentang buku The Anxious Generation. Setelah tiga tulisan pengantar di blog ini sebelumnya. Tulisan pertama, tentang Super Mario Effect dimana permainan video games sebenarnya berpola sebagaimana matematika. Tulisan kedua, tentang Finite dan Infinite Games, tentang dua jenis permainan di dalam kehidupan. Tulisan ketiga, tentang Perjalanan ‘Kecanduan’ Games yang hanya cerita pribadi mengikuti perkembangan dunia video games. Pengantar-pengantar tersebut bertujuan untuk menjelaskan bahwa game pernah jadi bahasan saya sebelumnya.

*Game : secara harfiah berarti permainan secara umum. Namun guna memudahkan serta karena sering digunakan oleh generasi terdahulu seperti boomer dan millenial, maka game yang dimaksud disini adalah video game. Permainan elektronik interaktif yang dimainkan melalui gawai dan dilengkapi dengan audio-visual.

Mulanya, Anak-Anak Senang Bermain di Luar Rumah

Ya, mungkin generasi ’95 merupakan salah satu generasi yang merasakan shifting dari yang mulanya bermain di luar rumah menjadi di dalam rumah. Saya masih ingat ketika SD kelas 2 di Trenggalek, saya bermain jamuran, lompat tali, dakon, sepak bola, dll. Permainan luar rumah menyenangkan apalagi bersama-sama. TV memang tontonan seru bagi anak-anak, namun hanya hari minggu pagi atau siang hari. Sisanya, lebih menarik untuk keluar rumah.

Permainan di luar rumah untuk anak usia tersebut tak seluruhnya bersifat menyenangkan. Terkadang juga mendebarkan, menantang bahaya, kadang-kadang kriminal kecil. Anak-anak memanjat pohon untuk memetik buah, berpetualang di dalam hutan (kalau masih ada), mencoba berenang di sungai, atau bahkan mencuri Jagung atau Tebu dari kebun. Tak jarang anak-anak juga harus berhadapan dengan sandal jepit ibu ketika waktunya sudah petang dan tak kunjung pulang.

Ilustrasi dibuat oleh AI

Orang tua juga tak sepenuhnya tenang ketika anak-anak bermain di luar. Munculnya media digital seperti TV membuat arus baru dalam gelombang informasi. Salah satu informasi yang juga diterima oleh para orang tua adalah topik kriminal. Beberapa kasus penculikan anak, kekerasan anak, kecelakaan, dan lain-lain membawa arus berpikir baru dalam benak orang tua. Bahwa anak cenderung tidak aman berada di luar rumah.

Safetyism

Tahun 2018, Dua orang Psikolog Jonathan Haidt bersama Greg Lukianoff menulis buku berjudul The Coddling of American Mind (Pemanjaan Pikiran Orang Amerika). Buku ini membahas tentang mikroagresi , politik identitas , safetyisme, call-out culture, dan interseksionalitas . Tentang Safetyism, Penulis mendefinisikan sebagai budaya atau sistem kepercayaan di mana keselamatan (yang juga termasuk “keselamatan emosional”) adalah nilai yang sangat prioritas. Sehingga orang menjadi enggan untuk berkompromi terhadap sesuatu yang berpotensi membahayakan.

Nah, di buku lain, The Anxious Generation, Jonathan Haidt menjelaskan bahwa Safetyism inilah yang membuat orang tua memiliki kekhawatiran yang berlebih. Keselamatan anak-anak adalah yang utama maka semua potensi bahaya harus dihilangkan. Anak-anak tak boleh bermain jauh-jauh, anak-anak harus dalam pengawasan orang tua, bahkan anak-anak tidak boleh bermain di taman bermain. Kalau perlu anak-anak tidak usah keluar rumah sekalian. Cari alternatif permainan yang aman dan tidak perlu keluar rumah.

Akhirnya, mulailah era permainan di dalam rumah. Bermula dari board game seperti monopoli, catur, ular tangga, dsb. Walaupun permainan ini juga masih beriringan dengan permainan di luar rumah. Kemudian datanglah era video game. Bermunculan gawai seperti Nintendo. Playstation, Xbox, dsb. Dengan demikian, berakhirlah sudah era permainan di luar rumah.

Ironisnya, menerapkan Safetyism tak berarti aman. Meniadakan potensi bahaya sama sekali sayangnya malah berbahaya. Setiap anak ternyata memerlukan bahaya-bahaya yang sedikit untuk membantunya bertumbuh dan berkembang. Seperti kata Kelly Clarkson dalam lagunya Stronger , “What doesn’t kill you make you stronger~” (aslinya sih kata Nietzche). Terkait dengan dampak dari Safetyism akan

Kritik dan Refleksi

Pendapat Haidt bukan tanpa kritik. John Warner dalam artikelnya berjudul, Safetyism was Never Real” mengkritik tentang Safetyism. Ia mengatakan bahwa generasi yang dikritik Haidt ini dipatologisasi. Generasi yang dianggap dimanjakan atau tidak tumbuh tanpa bahya ternyata menjadi garda terdepan dalam menyuarakan pendapat, bahkan tak takut berhadapan dengan tentara ketika aksi.

Bulan lalu pendapat ini juga terbukti, Gen-Z Nepal bahkan mampu mengkoordinasi gelombang protes hingga melengserkan Perdana Menteri dan seluruh kabinet. Aksi di Indonesia terkait dengan kebijakan tunjangan DPR juga dipelopori oleh anak muda dan Gen-Z.

Saya sendiri menyoroti bahwa fenomena Safetyism nyata. Banyak orang tua yang berlebihan dalam menjaga keselamatan anak. Don’t get me wrong! Saya sendiri juga sempat kuliah 4 semester sebagai mahasiswa Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Saya juga paham bahwa keselamatan merupakan yang utama. Namun dalam hal bermain, ketidakselamatan minor merupakan keniscayaan.

Anak-anak tak akan belajar berjalan kalau tidak boleh jatuh. Mereka tak belajar memanjat jika setiap pohon dianggap berbahaya. Luka di lutut, tangan yang kotor, atau sedikit memar justru menjadi bagian dari proses belajar yang sejati. Anak mengenal batas dirinya, belajar menakar risiko, dan mengembangkan keberanian.

Keselamatan memang penting, tetapi hidup yang sepenuhnya aman dapat menghilangkan kesempatan anak untuk tumbuh dan berkembang. Setiap tantangan kecil yang dihadapi anak sebenarnya adalah latihan menghadapi kehidupan yang jauh lebih besar dan tidak selalu bisa ditebak.

Bagikan post ini :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kolom Pencarian

Post Terbaru

Arsip Blog

Berlangganan via E-Mail