“STOOOOP! Jangan bilang “jangan” pada anak! Anda menghambat eksplorasinya…”
“Heeeey, anak nangis jangan langsung ditenangkan, biarkan ia meluapkan emosinya….”
“Hati-hati, anak-anak jangan ditanya “kenapa”.. otaknya belum paham…”
“bla-bla-bla…. dan seterusnya”
Rasanya lelah karena berseliweran di media sosial konten-konten seperti di atas tentang parenting. Walaupun satu sisi, sebuah kesyukuran saat edukasi terkait pola asuh anak mudah didapatkan. Mulai dari dokter, ahli tumbuh kembang, praktisi, pendidik, bahkan influencer-yang-belajar-parenting. Tak cuma pihak-pihak yang berkontribusi, style parenting pun juga bisa bermacam-macam. Ada edukasi ala Barat, ala Jepang, ala Islam, sampai ala VOC pun ada. Melimpah, lengkap, dan tak kurang-kurang.
Namun sayangnya, melimpahnya konten edukasi parenting tak diiringi dengan kemampuan literasi yang mumpuni dari masyarakat Indonesia. Sehingga konten langsung dipahami sebagai kebenaran mutlak. Enggan untuk mencari tahu lebih lanjut, mempelajari lebih dalam, atau setidaknya verifikasi sumber dan referensi. Dari sini timbul dua masalah : pertama, praktik parenting tidak dilandasi ilmu yang benar. Kedua, orang tua takut salah serta kurang percaya diri dalam mendidik (lack of confidence) – bahkan paranoid.
Jika Safetyism mengutamakan keselamatan anak-anak sehingga orang tua sangat overprotective, maka Paranoid Parenting pun demikian namun dengan sebab yang berbeda. Paranoid Parenting diakibatkan banyaknya informasi yang menakut-nakuti soal pengasuhan anak. Bahwa setiap sudut rumah dan lingkungan dapat ‘membahayakan anak”.Para ahli, konsultan, pakar sibuk menghujani informasi sehingga orang tua tidak memiliki keberanian dan insting untuk mendidik anaknya sendiri.
Baca juga :
Abaikan Saja para Ahli

Jonathan Haidt menambahkan pendapat tentang Paranoid Parenting di bukunya The Anxious Generation. Ia menyebut satu nama, Frank Furedi. Ia sebenarnya adalah sosiolog, bukan pakar perkembangan anak. Namun pengamatannya tentang fenomena ini cukup mendalam. Sehingga ia menulis buku berjudul, Paranoid Parenting : Why Ignoring the Experts May Best for Your Child pada tahun 2001. Sub judulnya saja menggelitik menurut saya, mengapa mengabaikan para ahli bisa jadi yang terbaik untuk anakmu.
Bayangkan di tahun tersebut, dimana pakar sangat diagung-agungkan. Seorang sosiolog berani menulis buku yang menyarankan untuk mengabaikan pakar. Padahal hari ini, pakar jauh lebih bertebaran daripada masa itu. Tak hanya pakar, bahkan influencer saja terkadang juga turut ikut bicara soal parenting. Hujan informasi tentu saja jauh lebih deras hari ini daripada dua dekade lalu. Apalagi zaman ini, kepakaran bahkan telah mati, kata Tom Nichols, The Death of Expertise.
Ambil Jalan Tengah
Mengabaikan saran para ahli sesuai saran Frank Furedi tentu langkah yang cukup ekstrim. Namun menerima mentah-mentah semua saran juga melelahkan. Saya punya saran, namun sebagai disclaimer, saya juga bukan ahli. Saran ini juga mungkin bisa salah, tapi setidaknya dapat mengurangi kemungkinan paranoid.
- Tetap belajar, kepada para ahli, secara terstruktur. Mempelajari parenting memang baik dan penting. Namun lebih baik terstruktur. Menghujani diri dengan video-video parenting asal-asalan akan membawa pada kekhawatiran dan kegamangan dalam melangkah. Pilih satu atau dua ahli saja yang dianggap kompeten.
- Guru dan Buku. Mencari guru yang dapat mendengarkan kita akan lebih tepat. Karena bisa bertanya langsung sesuai dengan kondisi kita. Buku juga lebih baik, karena buku lebih terstruktur, tak ada emosi menekan, dan setiap saran adalah penelitian panjang penulis.
- Percaya diri, percaya insting. Bagaimanapun setiap orang tua tidaklah kosong mlompong soal Parenting. Apalagi kalau tumbuh dan dididik dalam keluarga yang baik serta jadi orang tua normal. Terlebih jika kelahiran memang dipersiapkan sebaik mungkin. Maka dalam urusan-urusan yang belum-sempat-belum-tahu soal parenting, percaya saja dengan insting.
Semua pendapat baik dari para ahli, Frank Furedi, ataupun saran saya menuju ke satu arah. Menginginkan yang terbaik untuk anak dan untuk orang tua. Tidak berlebihan dalam menjaga anak-anak agar selamat, juga tak berlebihan dalam mengikuti semua petunjuk parenting. Tetap percaya dirilah dalam mendidik karena hadirnya buah hati bersama kita pasti karena Allah percayakan amanah tersebut kepada kita. Insya Allah selalu ada hikmah, ada pelajaran, dan selalu ada maksud baik Allah atas itu semua. Wallahu a’lam bish-showab.



Leave a Reply