Connect then Redirect

Oleh

|

|

Waktu Baca: 2 menit

Semua orang tua pasti sering mendapati masalah pada anak. Biasa. Namun masalah utamanya adalah sering kesulitan menyelesaikannya. Seolah anak berada di luar kendali orang tua. Seolah ada komunikasi yang sedang tidak terhubung. Sesederhana mengajak anak berangkat sekolah. Sebagian orang tua sampai harus menyeret anaknya untuk masuk sekolah. Pun anak juga luar biasa bersikeras menolak. Bahkan untuk anak PAUD sekalipun, sampai punya jurus untuk memberatkan tubuh sembari jongkok.

Apa yang sebenarnya terjadi? Ya, secara kasat mata, yang terjadi adalah dua individu yang sedang berbeda pendapat, orang tua dan anak. Orang tua berharap anak dapat lebih dispilin dan bertanggung jawab. Anak, bagaimanapun, sedang tidak ingin masuk sekolah, pokoknya ngga mau-titik. Namun yang terjadi di kepala mereka, dapat dilihat lebih detail lagi, karena keduanya belum terhubung.

Ada dua otak yang sedang berjalan, masing-masing berada di ‘pihak yang berbeda’. Orang tua, sedang menggunakan otak kiri, otak yang mengenal logika. Berharap anak sekolah tepat waktu, disiplin, dan bertanggung jawab. Sedangkan anak? Ketika menunjukkan ekspresi bahkan penolakan yang serius. Kemungkinan besar otak kanan yang sedang bekerja. Pokoknya ia merasa tidak ingin sekolah.  Dan otak kanan tidak akan peduli soal disiplin dan tanggung jawab.

Meski kedua belahan otak selalu bekerja bersama, namun memahami kecenderungan dominasi otak kiri atau kanan membantu orang tua merespons dengan tepat. Dan pribadi yang sehat adalah yang memiliki integrasi dan keseimbangan yang baik antara otak kiri dan otak kanan. Maka penting bagi setiap individu, baik orang tua atau anak berupaya menuju kesana. Dan orang tua perlu memimpin.  Jika terjadi konflik, pahami darimana asal masalah anak.

Contoh : Ketika anak tidak mau berangkat, boleh saja mencoba merasionalisasikan kenapa harus masuk sekolah. Namun alangkah baiknya jika diawali dengan empati. Berusaha memahami perasaan anak, menggali kenapa kok tidak  mau sekolah. Ini adalah teori *connect the redirect*. Hubungkan antara otak, lalu arahkan. Karena saat emosi meluap, otak kanan anak sedang aktif. Jika dipaksa logika, respons fight-or-flight-nya justru makin kuat. Itulah mengapa connect dulu penting—untuk menenangkan.

Ketika anak sedang condong ke otak kanan maka perlu bagi orang tua juga menggunakan otak kanannya. Catatannya bahwa siapapun yang sedang menggunakan otak kanan, mereka akan peka terhadap ekspresi, gesture, bahkan tatapan mata. Maka upaya memahami perasaan bukan sekedar dengan kata-kata. “Saya paham perasaanmu nak…”._Tidak, belum tentu. Upaya memahami harus benar-benar berasal dari lubuk hati terdalam dan menampilkan ketulusan yang nyata.

Lalu *redirect,* jika sudah terhubung. Artinya kedua otak (otak orang tua dan anak) sudah siap untuk mengintegrasi otak kanan – otak kiri. Pelan-pelan, orang tua menyampaikan rasionalisasi sembari tetap mendampingi perasaan anak. Sehingga anak bisa melewati fase banjir emosi menuju keseimbangan. Sederhana, tapi tentu tidak mudah. Namun diiringi dengan pengalaman dan ilmu, hal ini bisa dilatih. Adapaun teori ini, saya baca dari buku New York Times Bestseller berjudul *The Whole-Brain Child* karya Daniel J. Siegel dan Tina Payne Bryson. Semoga bermanfaat!

Bagikan post ini :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kolom Pencarian

Post Terbaru

Arsip Blog

Berlangganan via E-Mail